Judul : The Kite Runner
Penulis : Khaled Hosseini
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : 618 hl ; 17.5 cm
Pada satu lamunan, kau mungkin teringat masa indah sewaktu kecil: tumbuh besar dalam keluarga bahagia dan memiliki hubungan persahabatan yang indah. Tapi tidak bagi beberapa orang. Termasuk Amir.
Amir adalah tokoh utama dan pencerita dalam novel ini. Dia memulai kisahnya saat ia dan Hasan, pembantunya, berusia kanak-kanak dan menjalin persahabatan. Baba, ayah Amir, sosok Afghan perkasa dan atheis, melihat perkembangan anaknya dengan kecewa. Dia mengherankan kesukaan anaknya pada buku-buku sastra Farsi peninggalan ibunya, bukan pada sepakbola, beladiri atau semacamnya yang ia anggap sebagai permainan lelaki sejati. Amir menyadari hal itu. Kekakuan hubungannya dengan Baba semakin membuatnya mengerti. Pada satu turnamen layang-layang, Amir ingin membuktikan bahwa dia ialah anak yang dapat dibanggakan. Saat itulah sebuah dosa besar telah ia lakukan terhadap Hasan. Satu kesalahan yang menghantuinya hingga dewasa, menyadarkan dirinya bahwa ia hanyalah seorang pengecut.
Invasi Rusia ke Afghanistan membuat Amir dan Baba meninggalkan negeri mereka, memilih Amerika Serikat sebagai tempat memulai kehidupan baru. Waktu bergulir seiring meninggalnya Baba, pesta pernikahan Amir dengan Soraya yang juga pelarian Afghan, dan kesuksesan Amir sebagai penulis novel. Hingga tiba satu hari di bulan November 2001, Amir menerima telepon dari Rahim Khan, sahabat ayahnya, memintanya kembali ke Afghanistan yang sedang dikuasai rezim Taliban. Sebuah perjalanan menuju kebaikan yang mungkin dapat menebus dosa-dosanya.
Novel ini menyajikan banyak hal dari kehidupan manusia: cinta, kehormatan, pengabdian, pengkianatan, dan penebusan dosa. Pembaca akan dikejutkan oleh peristiwa yang tak terduga, dan berujung pada perenungan sejenak. Tak heran The Kite Runner dinobatkan sebagai novel terlaris tahun 2005 versi Publisher’s Weekly dan setahun lagi kisahnya akan hadir lewat film yang kan digarap oleh Marc Forster (Finding Neverland, 2004). []
M. Arfah. D
July 6th, 2006
Sedikit kita tengok masalah bangsa yang jarang tersorot: Budaya. Siapa yang menyangkal, betapa berharga budaya Indonesia di mata orang luar. Apresiasi mereka terhadap tari dan alat musik bangsa begitu besar. Terbukti dengan decak kagum dan tepukan panjang pada tiap akhir penampilan unit kesenian mahasiswa di Aula Barat, Senin 26 Juni.
Puluhan orang datang dari Nagaoka University of Technology mengikuti 4th Workshop on Regional Network Formation for Enhancing Research and Education on Material Engineering. Program akhir dari Workshop tersebut ialah Gala Dinner and Cultural Performance. Disinilah tampil kumpulan orang Indonesia menampilkan budaya Sunda juga Bali. Mau tidak mau, tamu yang hadir jadi sulit fokus pada makanan yang tersaji.
Kurang lebih sepuluh meja bulat dengan masing-masing enam kursi ditata apik. Peralatan makan komplit dengan pot bunga kecil juga disusun serasi. Sampai tiba beberapa orang Jepang masuk dalam aula, bersiap diri untuk melihat Lingkung Seni Sunda Universitas Padjajaran beraksi. Rampak Gendang sebagai sentuhan awal panggung cukup mengagetkan dengan kekompakan irama talu, juga Tari Manggawa dengan tempo tinggi dan energik.
Maha Gotra Ganesha (MGG) ITB mempersembahkan penampilan keduanya dengan tiga jenis tarian. Yang ini, memperlihatkan tingginya tingkat eksotis dan filosofi gerak budaya Bali, yaitu Tari Cendrawasih, Tari Kebyar Duduk, dan Tari Tenun. Sebagai penutup acara, Keluarga Paduan Angklung ITB mempertunjukkan kebisaannya untuk meramu lagu Jali-Jali dan Summer Night menjadi harmoni-harmoni etnis tanpa melepas unsur kekinian lagu. Seorang dari KPA ITB pun menyanyikan First Love (Utada Hikaru) dan True Love (Fuji Fumiya), dan lagi tak lepas dari iringan suara bambu, dilengkapi gitar dan bass.
Seolah ingin mengingatkan Indonesia punya alam dan sejarah yang memang layak dicintai, tamu-tamu Jepang itu meminta KPA ITB untuk menyanyikan Rayuan Pulau Kelapa dan Halo-halo Bandung secara accapela. Begitu sederhana tanpa perlu kehati-hatian yang rumit.
Teringat kita semasa kecil jadinya, sekaligus menyadarkan bahwa sudah begitu lama memang kita melupakan Indonesia. Juga budayanya.[]
-arfah
July 5th, 2006
Dunia memang dibuat sedemikian adilnya. Jika muncul sebuah kategori, pasti muncul opositnya. Walau di ITB sekalipun yang notabene menyaring orang-orang terpilih, tetap saja ada kategori pintar dan bodoh.
Terbitan kali ini kami mencoba hadir lewat media yang beda dari biasa. Kami terbit online. Topik yang diangkat memang biasa, istimewanya kami bungkus ala Boulevard: Menyampaikan dengan kritis dan cerdas.
Bolehlah dibilang kalau ITB identik dengan teknologi. Edisi ini kami akan sedikit menyentuh ke arah sana. Bagi para kaum adam yang jumlahnya memang signifikan di kampus ini, tentu saja ini menarik. Apalagi kalau menyangkut dunia maya, game online dan semacamnya.
Untuk para kaum perempuan, jangan ciut dulu. Mencoba adil, kami membahas tentang fashion kampus gajah. Bandung menyandang julukan Parisj van Java, bagaimana dengan ITB -yang harusnya juga masuk dalam kawasan Bandung. Penasaran?
Intinya, kami cuma mau bilang: Selamat Menikmati!
***
Visi buat 55’ online
Perkembangan teknologi memang tidak pernah terprediksi arahnya, kecepatannya, atau bentuk kurvanya. Tidak seperti kita menghitung gerak suatu benda dalam Kalkulus. Beberapa tahun yang lalu komputer di ITB entah seberapa besarnya. Sekarang? Jangan ditanya, yang sebesar buku tulis juga ada. Rasanya juga belum lama zaman dimana kita membawa-bawa disket sebagai data traveler. Sekarang? Memori sebesar komputer pun bisa dibawa-bawa. Kalau mau diprediksi kurva perkembangannya…. hmm, menyerah deh.
Perkembangan tersebut mau tidak mau juga menular ke mahasiswa. Mencari literarur di perpustakaan jadi terasa lama dan kurang praktis dibanding mengklik search engine ternama macam yahoo atau google. Tidak cuma urusan akademis, mahasiswa sekarang juga doyan mengakses entertainment di ruang maya. Sebut saja dotA, game warcraft online yang akhir-akhir ini marak di kampus. Dampak negatif pasti ada. Hmm, kalau lab komputer yang dibangun dengan tujuan awal sebagai fasilitas akademis beralih jadi fasilitas nge-game? Bisa-bisa cita-cita research university semakin sulit tercapai.
Dari teknologi, mari kita beralih ke Fashion. Kalau Bandung dipenuhi dengan kendaraan berplat B di akhir minggu, tentu itu pemandangan tidak asing bagi kita. Mobil-mobil itu akan terlihat sesak di area Factory Outlet. Mereka mencari hiburan dengan berbelanja kebutuhan fashion. Kenapa Bandung? Karena selain kota bunga, pada Bandung juga melekat nama Parisj van Java.
Kalau di ITB? Jangan remehkan. Anak ITB sekarang tidak seperti rumor masyarakat dulu yang katanya kolot fashion. Yang katanya berpakaian dengan gaya standar mahasiswa hendak kuliah: kemeja, celana jeans, sepatu keds, dan tas ransel. Tidak. Mahasiswa ITB sekarang sudah bergaya, modis. Bukan cuma anak SR, anak Teknik juga bisa gaul dalam berpakaian.
Kalau ditilik, perkembangan fashion ini tidak lepas dari perkembangan media di sekitar kita. Media masa ini tidak hanya berisi tentang info-info penting yang aktual, banyak media yang bergenre life style yang jelas memuat tren berpakaian masa kini.
Media-media ini menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa yang melek fashion. Apakah memang mahasiswa kini lebih tertarik membaca dan mengetahui fashion-fashion terbaru daripada info-info kampus terbaru?[]
May 28th, 2006
Previous Posts